Suku Anak Dalam Jambi Tinggal Cerita ?
Penulis Husni AS saat berada di Masjid Agung Al-Ittihad Muara Tebo Jambi.
JAMBI: koranmedan.com
Suku Anak Dalam (SAD) Jambi, merupakan salah satu suku tergolong tertinggal di daratan pulau Sumatera. Keberadaannya tinggal di kawasan Provinsi Jambi. Suku ini juga disebut suku “Kubu” yang hidupnya berkelompok dan berpindah- pindah. Namun, belakangan suku SAD ini sudah jarang ditemui di beberapa tempat di Provinsi Jambi. Apakah keberadaan mereka sudah punah atau sudah bersosialisasi, dan hanya tinggal cerita saja?
Sekitar sepuluh tahun lalu penulis yang datang ke Desa Muara Bulian Kabupaten Muara Jambi, masih menemukan kelompok suku ini hidup di hutan sawit pinggiran Sungai Batang hari. Bahkan ketika itu penulis ingin mengabadikan mereka, dilarang sehingga membuat penulis kecut dan meninggalkan lokasi permukiman mereka tak jauh dari Hulu sungai Batanghari. Namun, Ahad 30 Juni 2024 lalu, penulis kembali datang ke desa tersebut. Suku SAD tak terlihat lagi hidup di hutan sawit tersebut. Ditanyakan kepada Era Arafat S.Kom, karyawan salah satu perkebunan swasta di Muara Bulian, yang sudah 15 tahun bermukin di wilayah itu menyebutkan, belakangan ini suku SAD jarang terlihat. Dulu, paparnya mereka tak segan masuk ke rumah warga dan mengambil makanan yang ada atau meminta secara paksa. Bahkan ketika itu pada pagi hari mereka berbondong ke pusat kota untuk mengemis dan kembali ke hutan sebelum matahari naik. Akan tetapi belakangan mereka sudah mengenal barteran. Seperti hasil buruan mereka seperti babi diganti dengan makanan kebutuhan mereka.
Era Arafat tak merinci kemana mereka berpindah. Ia pernah mendengar suku SAD ditempatkan di desa Muara Tebo oleh pemerintah setempat. Namun, tidak betah dan berpindah. Belakangan ada informasi suku SAD hanya ada di kawasan Bangko, Muaro Bunga dan Muara Tebo, Provinsi Jambi.
Sementara cerita seorang Satpam dari salah satu perkebunan swasta berusia 35 tahun menyebutkan, memang suku SAD tak terlihat lagi. Lelaki yang mengaku lahir di Muara Bulian itu menduga tak terlihatnya lagi suku SAD kemungkinan sudah bersosialisasi dengan masyarakat. Bahkan setahunya ada anak dari suku SAD menikah dengan penduduk setempat dan hidup bersama masyarakat setempat. “Mungkin ini penyebab mereka tak terlihat lagi berkeliaran seperti sebelumnya” ungkapnya.
Bau Busuk dan Pakai Rantai
Ketika penulis berada di Muaro Tebo, Selasa (2/7/2024) lalu, tepatnya di depan Masjid Agung Al-Ittihad kebanggaan masyarakat Muaro Tebo sempat berbincang dengan penjual rujak keliling, bernama Tedy. Ia mengaku beberapa tahun lalu di suatu desa bertemu beberapa orang suku SAD. Semula ia menduga pembeli rujak biasa. Ternyata suku SAD, mereka meminta rujak jualannya. Mereka terlihat sudah mengenal pakaian, namun bau busuk, diduga tidak mandi dan menggunakan rante di leher terbuat dari kayu. Melihat gelagat mereka yang kurang menyenangkan, Tedy mengaku, secepatnya meninggalkan lokasi. Sejak itu ia tidak lagi berjualan rujak ke pelosok desa.
Sementara terkait suku SAD ini ketika ditanyakan kepada Melly dan Santy saat bertemu di rumah makan Lamongan di Muara Bulian. Melly dan Santy yang mahasiswa semester 4 Fakultas Tarbiyah UIN Batanghari Jambi mengaku belum pernah membicarakan suku SAD Jambi di tempat ia menimba pendidikan. Ia sendiri tak pernah tahu di mana keberadaan suku SAD sekarang. Ia hanya mendengar cerita suku SAD Jambi dari mulut ke mulut. Sementara rekannya Santy memberikan pengakuan yang sama. Santy yang juga seorang mahasiswa, pernah mendengar ada program belajar bagi anak- anak suku SAD, namun ia tidak mengetahui tindak lanjutnya. Ia berharap suku SAD bisa di ajak untuk hidup bersama masyarakat dan tidak mengasingkan diri.*** (H Husni AS)