Webinar ANN: Khilafah Jadi Alternatif Sistem Bernegara?
Catatan: Samodra Wibawa (UGM)
Perbincangan tentang khilafah mengemuka lagi akhir-akhir ini. Tampaknya ini disebabkan oleh ketidakpuasan masyarakat terhadap sistem bernegara kita: demokrasi-langsung one man one vote telah mendorong terjadinya money politics dan kemudian memunculkan oligarkhie. Negara terkesan diatur dan dikuasai oleh orang-orang kaya; pengusaha menjadi penguasa. Akibatnya adalah ketimpangan dalam hal politik dan ekonomi, di mana distribusi pendapatan sangat timpang dan orang kebanyakan tidak memiliki akses yang memadai untuk ikut menentukan kebijakan. Pemerintah (penguasa dan pengusaha) leluasa membuat aturan yang belum tentu disetujui masyarakat.
Dalam kondisi seperti ini konsep, ide ataupun norma khilafah terlihat menjadi alternatif yang menarik: pemerintah tunduk kepada aturan atau hukum Tuhan, yang pasti akan baik bagi ummat manusia dan alam semesta seluruhnya.
Demikian pokok-pokok pikiran yang mengemuka dalam webinar Akademia Noto Negoro (ANN) ke-53 yang digelar Rabu, 26 Juli 2023 malam.
Webinar yang diikuti 50-an peserta itu menghadirkan narasumber Samodra Wibawa (UGM), Tomi Setiawan (UNPAD) dan Yakob Noho Nani (UNG). Beberapa orang ikut aktif berbicara, antara lain Fahmi Amhar (BRIN), Hanif Nurcholis (UT) dan Arif Firmansyah (Bandung).
Khilafah adalah sistem pemerintahan atau sistem bernegara yang telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dan empat khalifah penerusnya (Abubakar, Umar, Utsman, Ali). Di dalam khilafah, pemimpin negara dipilih secara musyawarah, tidak turun-temurun sebagaimana dalam kerajaan. Musyarawarah itu dilakukan oleh wakil-wakil rakyat, tapi pada akhirnya keputusan mereka disetujui oleh seluruh rakyat. Jadi pada prinsipnya adalah demokrasi.
Berbeda dengan negara demokrasi yang kita alami saat ini, aturan atau hukum di dalam khilafah tidak didasarkan pada kesepakatan para wakil rakyat, tapi yang pertama dan terutama adalah pada perintah serta larangan Tuhan yang termuat di dalam al Qur’an maupun al Hadits.
Jadi hukum tidak “tumbuh dari bawah” (oleh warga negara melalui para politisi wakil mereka) tapi “diturunkan dari atas”. Yang merumuskan hukum bukanlah DPR tapi para ulama cerdik-pandai yang mencarikan penyelesaian terhadap masalah-masalah masyarakat berdasarkan rujukan pada Quran dan Hadits maupun ijma’ dan qiyas (tafsir ilmiah oleh orang yang kompeten).
Dalam pengertian ini, maka khilafah merupakan negara yang dikelola secara saintifik, alias meritokrasi. Kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah akan baik untuk publik secara keseluruhan dalam jangka panjang dan untuk keberlanjutan seluruh semesta alam, bukan hanya baik untuk kelompok penguasa pada tempo tertentu dan hanya untuk negara yang bersangkutan.
Di dalam khilafah semua manusia dengan agama apapun akan terlindungi. Fahmi Amhar mencontohkan, ketika pada jaman dulu ada wilayah khilafah yang direbut oleh kaisar Romawi, penduduk non-muslim di sana menangis semua, karena mereka lebih suka dipimpin oleh muslimin yang adil dan penuh kasih-sayang daripada penguasa yang seagama tapi zalim.
Prinsip-prinsip pemerintahan dalam khilafah dikemukakan oleh narasumber Samodra Wibawa. Menurut renungannya dari membaca beberapa artikel dan mendengarkan ceramah para ustad selama ini, dasar atau sumber dari kehidupan bermasyarakat adalah tauhid (kesadaran akan posisi kita sebagai makhluk Tuhan yang harus patuh pada pengaturan-Nya, iman dan taqwa).
Hal ini akan melahirkan empat prinsip pengelolaan negara sbb.: pertama adil (termasuk kesetaraan hukum dan tindakan pegawai yang serba tertulis/tercatat), kedua iptek, merit system (termasuk kebebasan berpikir) yang akan melahirkan kreativitas dan inovasi; ketiga musyawarah, demokrasi dan transparansi (termasuk toleransi dan pluralisme), dan keempat efisien, tidak mubadzir, termasuk ramah lingkungan.
Demikian catatan rangkuman dari webinar ANN yang ke-53 tersebut. Pertanyaan yang masih tersisa adalah: Pertama, jika khalifah yang terpilih secara mufakat oleh para wakil rakyat itu ternyata tidak sepenuhnya disetujui oleh rakyat, bagaimana penyelesaiannya?
Kedua, haruskah khilafah itu hanya satu buah untuk seluruh dunia, satu komando, sentralistik? Tidak bisakah setiap negara menerapkan prinsip-prinsip khilafah di dalam teritorinya masing-masing, lalu mereka melakukan kerjasama (ukhuwah, silaturahmi) secara konfederasi atau persemakmuran untuk berfastabiqul khairat…? Bukankah tujuannya adalah berbuat kemanfaatan, kemaslahatan untuk seluruh, bukan soal hegemoni suatu sistem atas sistem yang lain…? ***