Webinar ANN: Awas Negara Timpang, Njomplang
YOGYAKARTA: koranmedan.com
Akademia Noto Negoro (ANN) kembali mengadakan webinar online pada Rabu malam 14 Desember 2022. Dalam webinar ke-34 tersebut, ANN mengangkat judul, “Awas Negara Timpang, Njomplang.”
Dr. Revrisond Baswir, yang akrab disapa Pak Soni, dosen dan ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) didapuk sebagai pemantik diskusi pada malam itu. Diskusi diikuti sekitar 40-an orang yang umumnya adalah dosen dan peneliti dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Soni dalam paparannya menyampaikan mengenai hal-hal seputar ekonomi Pancasila, ekonomi kerakyatan, struktur ekonomi Indonesia, dan berbagai ketimpangan ekonomi yang terjadi di Indonesia.
Poin penting dari materi yang disampaikan Soni adalah berbagai ketimpangan ekonomi yang terjadi saat ini di Indonesia merupakan akibat dari sistem ekonomi yang bertentangan dengan konstitusi.
Lebih jauh, Soni mengingatkan, para pendiri bangsa, Soekarno dan Hatta, telah meletakkan fondasi ekonomi Indonesia, yang berlandaskan demokrasi ekonomi. Landasan filosofi demokrasi ekonomi adalah pasal 33 UUD 1945. Wujudnya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan koperasi. Namun, dalam praktiknya struktur ekonomi justeru didominasi oleh sektor swasta.
Diskusi yang berlangsung santai tapi serius tersebut berhasil memprovokasi para peserta untuk memperdebatkan konsep dan operasionalisasi ekonomi kerakyatan, serta penerapannya di Indonesia.
Demokrasi Ekonomi
Dalam sesi dikusi, Prof. Hanif Nurcholis dari Universitas Terbuka memberikan pandangannya tentang demokrasi ekonomi yang digagas Soekarno.
Menurutnya, demokrasi ekonomi Bung Karno adalah sosio demokrasi yang cenderung mengesampingkan hak asasi manusia. Di sisi lain, Yakop dari Gorontalo mengkritisi, belum ada konsep yang jelas untuk melaksanakan ekonomi kerakyatan. Sedangkan, Dewi Ammanatun mempertanyakan partisipasi public dalam Badan Usaha Milik Kelurahan/Desa.
Kembali ke Rel yan Benar
Dalam tanggapannya, Soni menggarisbawahi, tantangan mengembalikan ekonomi Indonesia ke rel yang benar semakin berat karena selain penetrasi struktural dalam tingkat kebijakan, telah terjadi hegemoni kultural sistem ekonomi neoliberalisme yang disusupkan di perguruan tinggi Indonesia.
Diskusi berlangsung cair dan hangat Soni yang dikenal sebagai anti neoliberalisme kembali menekankan pentingnya kembali ke-khittah, yaitu ekonomi kerakyatan.
Karena sudah hampir larut, diskusi ditutup Suprapti Widiasih, dosen STIAMI Jakarta.*** (Ril/Zul Marbun)