Catatan: Dr. Muhammad Sontang Sihotang, S.Si, M.Si
(Koranmedan.Online)
Kita perlu mendengar wasiat nilai-nilai pendidikan yang bermuara kepada beberapa problematika kehidupan manusia yang selalu mendapatkan dorongan dari nafsu sendiri dan dorongan serta keinginan yang dibisikkan oleh Iblis / setan guna melakukan hal-hal yang menyimpang dari aturan baik negara maupun agama.
Naskah tanbih adalah sebuah nasehat agama yang dianugerahkan oleh Abah Sepuh kepada Abah Anom pada 13 Februari 1956 (11 tahun pasca proklamasi kemerdekaan RI) yang berisi wujud perintah (wasiat) yang disebarkan untuk semua.
Hal ini kami apresiasikan dengan penuh ketulusan agar wasiat ini dapat menjadi perhatian yang seksama, yaitu tidak melakukan tindakan yang melawan terhadap aturan negara dan agama.
Mematuhi keduanya dengan wajar adalah sikap dari seorang manusia yang teguh dengan keyakinannya, yang mampu memanifestasikan kesediaannya untuk mengabdi kepada kedua-duanya (negara dan agama) dengan menunjukkan ketaatan kepada Alloh SWT.
Tindakan ini menunjukkan sebagai bukti bakti terhadap negara dan agama.
Pahamilah wahai murid-murid, kata Abah Anom, janganlah tergoda oleh keinginan yang tidak baik, atau terpengaruh oleh godaan setan. Sadarlah dan berhati-hatilah terhadap jalan yang salah, yang melawan terhadap perintah agama dan negara guna menghindari ketertarikan terhadap bisikan-bisikan setan yang selalu merasuk ke dalam relung hati kita (Arifin, 1976).
Tanbih Abah Anom memberikan pemahaman melalui pendidikan sufistiknya tentang upaya melakukan hubungan yang ideal antara sesama manusia dengan sebaik mungkin, yaitu dengan menganjurkan nilai kebaikan secara sosial yang diperoleh melalui kesucian hati yang bermuara pada keempat unsur status individu dalam bermasyarakat.
Pertama, harus menunjukkan rasa hormat terhadap yang lebih tinggi tingkatannya, baik secara rohani maupun status. Ini harus dilaksanakan agar dapat hidup bersama-sama dalam keselarasan dan rasa saling hormat-menghormati sebagai timbal balik yang saling menguntungkan.
Kedua, jangan terlibat pertengkaran yang mempunyai status / nasib / kedudukan yang sama dalam segala hal, sebaliknya mereka perlu memelihara suatu sikap sederhana, bekerja bersama untuk kepentingan negara dan agama. Sebaiknya tidak mempromosikan pertengkaran dan perselisihan (menghasud dan atau menebar kebencian kepada sesama).
Ketiga, janganlah menghina atau melakukan suatu yang tidak baik, janganlah bertindak angkuh terhadap golongan yang lebih rendah dari kita.
Melainkan, orang harus simpatik agar supaya mereka merasakan bahagia, tidak merasa ditakut-takuti dan janganlah menyakiti perasaan mereka.
Sebaliknya mereka harus dipandu dengan nasehat yang lembut akan membuat mereka sadar bahwa mereka perlu berjalan di atas jalan yang benar.
Keempat, terhadap fakir miskin, harus bersikap lembut, baik hati, dermawan, penyabar, dan murah senyum yang merupakan perwujudan dari kesadaran hati akan nasib mereka.
Bayangkanlah kalau kita di posisi mereka. Oleh karena itu, janganlah tidak punya rasa peduli. Perlu disadari bahwa mereka berstatus lemah atau miskin bukanlah atas kehendak mereka sendiri, melainkan adalah Qodrat Alloh SWT (Arifin 1983; Rachmat 2005; Arifin 2006).
Terkait hal itu penulis mengajak semua pihak untuk memperbanyak istighfar dan berzikir kepada Alloh atas segala dosa kecil dan besar , dosa sengaja atau tak sengaja, dosa luar dan dalam atau zohir dan batin yang pernah kita semua lakukan.
“Insya Alloh semua masalah yang berkembang akhir-akhir ini di Indonesia termasuk di Universitas Sumatera Utara (USU) akan tuntas tanpa masalah. Apalagi kita semua senantiasa dan terus menerus memohon agar Alloh memimpin, mendidik dan membimbing kita di setiap saat. Penulis mengajak pihak-pihak terkait untuk ikut istighfar dan zikir bersama untuk kebaikan USU dan Indonesia ke depan, sebab di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Karena sesungguhnya problema adalah proses hikmah dalam peri kehidupan untuk kita serahkan kepada Alloh agar diberi langkah solutif.
Semoga bermanfaat. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. ***