SUDAHKAN KITA BENAR-BENAR MERDEKA..?
Catatan: Samodra Wibawa (UGM)
Dalam banyak hal ternyata kita belum merdeka sepenuhnya. Hanya secara fisik saja kita merdeka, tidak dijajah oleh tentara dan polisi asing. Secara pemerintahan kita memang sudah merdeka, tapi apakah pemilihan presiden dan penentuan menteri-menteri kita tidak dicampuri asing? Secara hukum, apakah UU kita dan bahkan UUD kita sepenuhnya ditentukan oleh rakyat? Tidakkah UUD kita tahun 2002 telah dikritik sebagai disetir oleh asing? Bukankah UU Minerba, UU Cipta Kerja dan UU Kesehatan, misalnya, terindikasi menguntungkan para kapitalis asing dan antek-anteknya di dalam negeri?
Demikian pokok pikiran yang disampaikan Prof. Fahmi Amhar (BRIN) dalam webinar Akademia Noto Negoro ke-56, Rabu malam, 23 Agustus 2023.
Ke-belum-merdeka-an kita lebih tampak lagi pada aspek teknologi. Kita masih sangat tergantung asing, dan asing dapat memanipulasi kita dengan teknologi mereka. Sebenarnya kita pernah memproduksi pesawat terbang dipimpin Habibie, tapi ini justru dihentikan oleh Orde Reformasi! Di bidang ekonomi kita punya utang sekitar 8.000 trilyun! Nilai tukar rupiah kita terhadap dolar saat ini bahkan sama dengan tahun 1998 yang merontokkan negara! Jadi kita ini belum merdeka! Kalau merdeka, mestinya kita bisa menentukan sendiri jalan hidup dan peradaban kita.
Dalam pemahaman Fahmi, negara merdeka adalah negara yang penduduknya hanya menghamba kepada Sang Pencipta saja (Allah swt), dan tidak menghamba ke sesama manusia dan negara lain, yang diktator maupun yang demokratis. Jika sudah bersikap demikian, maka kita akan berkembang dengan cepat menjadi negara yang profesional, produktif dan powerful. Kekhilafahan Islam pernah mencontohkan ini, terutama di masa Khulafaur Rasyidin (mulai abad ke-6). Mereka melakukan “ekspansi” ke barat dan ke timur untuk menyebarkan rahmat ke seluruh alam, bukan untuk menjajah atau mengeksploitasi. Negara seperti ini adalah negara yang “berkah”.
Menanggapi itu, Dr. Wahyu Triono (UNAS) mengungkapkan beberapa kondisi yang tengah dihadapi bangsa Indonesia, yakni globalisasi dan perkembangan IT yang menjadikan dunia berubah semakin cepat dan kompleks. Karena itu masyarakat kita perlu diberi pendidikan atau literasi yang benar tentang dunia digital, juga finansial, sains dan budaya. Generasi mudanya perlu didorong dan dikondisikan untuk menjadi enterpreneur.
Pada sesi diskusi, Fahmi menambahkan perubahan negara kita bisa dimulai dari sistem dulu, tapi bisa juga dimulai dari pemimpin ataupun rakyatnya dulu. Dan ini harus dimotori oleh para intelektual atau ulama dengan memberikan nasihat kepada para pemimpin maupun rakyat.
Intelektual atau ulama harus terus menyuarakan kebenaran dan kebajikan. Namun dalam sistem demokrasi yang sedang berlangsung saat ini, sepertinya perubahan menyeluruh tidak mungkin dilakukan, karena kebanyakan partai dikuasai oleh para orang kuat pemilik modal. Jadi sistem demokrasi kita diisi oleh partai-partai yang kebanyakan tidak demokratis. Karena itu Fahmi meyakini bahwa khilafah merupakan sistem yang lebih baik daripada demokrasi.
Sejalan dengan ini Tomi Setiawan (UNPAD) selaku peserta webinar mengutip sebuah buku terbitan tahun 1930-an yang menyatakan di Yunani Kuno, yang sering dipahami sebagai negeri tempat muncul demokrasi yang dianggap benar saat ini, sebenarnya masyarakatnya justru jijik dengan demokrasi.
Fahmi menerangkan, khilafah adalah sistem pengelolaan negara yang berpedoman kepada petunjuk Allah swt melalui Nabi Muhammad saw. Dalam hal ini pemimpin negara bisa saja dipilih oleh para wakil rakyat yang terdidik dan saleh (dalam pengangkatan Abubakar); bisa juga karena dinominasikan oleh pemimpin lama, tapi dia bukan keluarganya (kasus Umar); atau dipilih oleh rakyat melalui suatu kepanitian (kasus Utsman); atau otomatis menjadi pemimpin karena dia adalah wakil dari pemimpin yang lama (kasus Ali). Terlepas dari cara suksesinya, yang lebih esensial adalah bahwa hukum yang diterapkan oleh para khalifah ini adalah hukum dari Allah dan Nabi-Nya yang sudah sempurna.
Hal-hal baru yang belum disebut secara tekstual dalam Quran dan Hadits dapat dirumuskan hukumnya melalui ijtihad para ulama, dan hingga saat ini semua masalah aktual dapat dicarikan aturannya yang merujuk hingga ke Quran dan Hadits.
Jadi sistem khilafah ini mirip dengan salat berjamaah: Imam dipilih dari orang-orang terbaik secara intelektual dan akhlaknya. Tapi imam tidak dapat berbuat semau-gue melainkan tunduk pada rukun-rukun salat; jika salah dia bisa dan harus mau dikritik dan diluruskan; bila batal harus diganti oleh makmum di belakangnya. Jadi sistem khilafah tidaklah demokratis sepenuhnya, tapi sama sekali bukanlah diktator. Inilah sistem yang sempurna.
Dalam kaitan itu, selepas webinar penulis mengajukan pertanyaan kepada Prof. Fahmi: Bila manusia menghamba kepada Penciptanya, bukankah mestinya tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dsb bukan ukuran keberhasilan dari suatu pemerintahan? Bukankah kita tidak perlu berlomba dengan negara lain untuk jadi yg terbaik dalam kemakmuran dan kecanggihan teknologi? Bukankah yg penting warganya salih, terjamin masuk surga?
Pertanyaan itu dijawab sbb.: Boleh saja mengukur kemajuan pembangunan dengan naiknya tingkat pendapatan atau pendidikan. Tetapi yang terpenting adalah “tingkat kepatuhan hukum” –di sini hukum Allah (syariat). Tidak boleh meningkat pendapatannya, bila didapatkan dengan cara haram (semisal melegalkan judi, miras, prostitusi dsb). Tidak boleh juga meningkat pendapatannya, bila hanya digunakan untuk konsumtif, tidak untuk mengentaskan orang lain yang masih miskin (dapat diukur misalnya dari generosity index atau philanthropy index).
Jadi berlomba dalam kemakmuran dan kecanggihan teknologi jelas perlu, karena itu juga cara berdakwah yang efektif. Kesalehannya bukan sekedar kesalehan egoistik, tetapi kesalehan heroik: membebaskan dunia dari penjajahan!
Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas dapat disimpulkan bahwa kemerdekaan itu terwujud justru melalui penghambaan diri kita (individu dan masyarakat/negara) kepada Sang Pencipta. Kalau tidak menghamba kepada Tuhan, maka pastilah kita menghamba kepada manusia lain atau kepada nafsu kita, dan ini akan membelenggu kita. Karena itu dalam hidup bermasyarakat (termasuk berekonomi, berpolitik, berhukum dsb.) semestinya kita mengacu kepada aturan dan petunjuk Sang Pencipta tersebut, tidak membuat aturan sendiri yang mungkin terlihat bagus dan indah tapi sebenarnya malah mencelakakan.
Tampaknya pengetahuan kita tentang khilafah sebagaimana dipraktikkan khulafaur rasyidin perlu terus-menerus diperbaharui, karena dalam diskursus ilmu sosial saat ini kita tengah dihegemoni oleh perspektif demokrasi liberal. Hegemoni ini telah berlangsung sedemikian rupa, sehingga kita meyakini bahwa tidak ada sistem lain yang lebih baik.*** (Ril)