Jakarta (Koranmedan.Online) – Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menggelar Sekolah
Lapangan Geofisika (SLG) di Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai upaya
mewujudkan masyarakat siaga bencana, salah satunya terhadap ancaman
gempabumi dan tsunami.
Kegiatan tersebut penting dilaksanakan mengingat kondisi wilayah DI
Yogyakarta berada di selatan Jawa yang rawan tsunami karena berhadapan
langsung dengan Samudra Hindia dan Zona Megathrust.
“Kita berkumpul disini untuk menyiapkan diri dan berlatih agar bisa
menyelamatkan diri, keluarga dan masyarakat sehingga diharapkan tidak ada
korban jiwa jika sewaktu-waktu terjadi gempabumi dan tsunami,” kata Kepala
BMKG Dwikorita Karnawati saat membuka kegiatan Sekolah Lapang Geofisika di
Balai Desa Glagah Kabupaten Kulon Progo DI Yogyakarta, Selasa (16/3/2021).
“Gempabumi tidak bisa dicegah karena ini salah satu bencana alam yang menjadi
bagian dari kehidupan kita, namun yang dapat dicegah adalah jatuhnya korban
jiwa ataupun kerugian sosial ekonomi. Hal inilah yang menjadi goal Sekolah
Lapang Geofisika (SLG), khususnya untuk mitigasi Gempabumi dan Tsunami,”
lanjut Dwikorita.
SLG bertujuan untuk meningkatkan pemahaman serta
membangun kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi gempabumi dan
tsunami yang tidak dapat diprediksi kapan akan terjadi.
Selain membangun sikap dan budaya tangguh terhadap gempabumi dan tsunami
bagi masyarakat dan sekolah yang berada di wilayah rawan gempabumi dan
tsunami, SLG juga bertujuan untuk menguatkan koordinasi antara Stasiun
Geofisika BMKG di daerah sebagai perpanjangan tangan BMKG Pusat dengan
berbagai pihak terkait di daerah, serta menguatkan peran BPBD sebagai simpul
utama rantai komunikasi di daerah dalam memberikan informasi dan arahan
yang benar kepada masyarakat dan SKPD terkait peringatan dini tsunami.
“Dengan adanya kegiatan ini diharapkan seluruh komponen masyarakat paham
dan mampu melakukan penyelamatan diri terhadap bencana gempabumi dan
tsunami, sehingga minim risiko korban jiwa maupun korban materiil,” ujar
Dwikorita.
Lebih lanjut Dwikorita mengatakan, latihan evakuasi mandiri juga perlu rutin
dan lebih sering dilakukan agar masyarakat lebih cekatan dan sigap dalam
menyelamatkan diri, dan pemerintah menyiapkan sarana dan prasarananya.
Maka perlu kerja sama antara masyarakat dan pemerintah, dimana masyarakat
perlu menyiapkan peta jalur evakuasi tingkat desa, rencana kontijensi dan
penguatan tim siaga bencana di desa setempat yang rawan tsunami.
Deputi Bidang Pencegahan BNPB Lilik Kurniawan mengatakan, konsekuensi
berada di wilayah rawan bencana adalah harus lebih waspada dengan
menyiapkan pengurangan risiko bencana.
“Gempa juga dapat berdampak pada bencana ikutan lainnya seperti tsunami,
tanah longsor, kebakaran dan kecelakaan industri,” ujar Lilik.
Lilik menjelaskan, sebelum bencana terjadi ada upaya yang bisa dilakukan
yaitu kesiapsiagaan dan mitigasi dengan memahami risiko sekitar.
“Latihan-latihan, simulasi dan sosialisasi harus terus dilakukan sehingga
masyarakat sudah memahami jika terjadi tsunami apa yang harus dilakukan,
termasuk menyiapkan rencana evakuasi di level desa dan kelurahan yang rawan
tsunami,” katanya.
Pencegahan untuk jangka panjang dilakukan dengan mitigasi bencana baik
secara struktural maupun kultural, memperkuat desa-desa di daerah rawan
tsunami dengan menjadi desa tangguh bencana. Masyarakat diajak terlibat langsung memetakan daerah rawan tsunami, letak
titik kumpul dan diharapkan setiap rumah punya rencana evakuasi masing-
masing yang diselaraskan dengan rencana kontijensi.
Sementara itu Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Bambang S.
Prayitno menyampaikan untuk Penguatan Sistem Informasi dan Peringatan Dini
Tsunami di Kawasan Bandara Internasional Yogyakarta dan sekitarnya, telah
ditambahkan beberapa peralatan yang terdiri dari Intensitymeter untuk
mengukur tingkat guncangan di Terminal Bandara akibat gempabumi,
Accelerometer untuk mengukur Percepatan Tanah di Area Bandara, dan
Warning Receiver System New Generation (WRS – NG) guna
menyebarluaskan informasi Gempabumi dan Tsunami dari BMKG Pusat ke
Lingkungan DIY, Kabupaten Kulon Progo, dan Lingkungan Bandara dalam waktu
2 sampai 4 menit setelah kejadian gempabumi. Selain itu juga sedang disiapkan
Radar Tsunami yang merupakan hibah dari Jepang dan Sistem Pendeteksi Dini
Tsunami yang merupakan bantuan dari Cina.
Kepala Stasiun Geofisika BMKG di Daerah Istimewa Yogyakarta, Ikhsan
menjelaskan pula bahwa kegiatan SLG di Yogyakarta dilaksanakan selama dua
hari pada 16-17 Maret 2021 dengan total peserta sebanyak 224 orang, dengan
rincian peserta SLG sebanyak 124 orang yang dilaksanakan baik secara daring
maupun luring, ditambah peserta BMKG Goes to School sebanyak 100 orang.
Kegiatan SLG secara luring dilaksanakan di dua lokasi, yakni di Balai Desa Glagah
diikuti 32 peserta dan Balai Desa Kemadang sebanyak 21 peserta, diisi dengan
kegiatan penguatan pemahaman oleh Para Narasumber dari BNPB, PUPR, BPBD
DIY dan BMKG, serta dilengkapi Kegiatan Simulasi Tanggap Darurat
Gempabumi dan Tsunami di Wilayah Pesisir Kabupaten Kulon Progo. Simulasi
tersebut dilakukan baik berada di dalam ruangan melalui Table Top Exercise
(TTX) dan juga di lapangan.
Sekolah Lapang Geofisika di Yogyakarta terlaksana atas kerja sama Pusat
Gempabumi dan Tsunami, BPBD Kulon Progo, BPBD Gunungkidul, Perangkat
Desa Glagah dan Kemadang, Forum Komunitas Kebencanaan di Desa Glagah dan
Kemadang, Komunitas YIA, PUPR selaku penanggungjawab underpass YIA, dan
Stasiun Geofisika Kelas I Sleman.
Selain di Kulonprogo dan Gunungkidul Yogyakarta, BMKG juga melaksanakan
SLG secara nasional di 29 lokasi lainnya pada 2021 yaitu di Pidie, Singkil, Nias,
Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Pasaman Barat/Padang Pariaman, Jambi,
Pesisir Barat, Cilegon, Cianjur, Purworejo, Kabupaten Malang, Sumenep,
Jembrana, Karangasem, Mandalika Lombok Tengah, Labuan Bajo, Lembata,
Sumba Barat, Penajam Paser Utara, Likupang Minahasa Utara, Tolitoli,
Jeneponto, Bau-Bau, Tual Maluku Tenggara, Halmahera Selatan, Kabupaten
Jayapura, Sarmi dan Nabire. *** (Humas BMKG/Zul Marbun)