Pakar Administrasi Negara: Kita Ini Negara Pancasila atau Hipokrisi Oligarkhi?
YOGYAKARTA: koranmedan.com
Kondisi pengelolaan negara kita saat ini terkesan didominasi oknum penyelenggara negara dan terabaikannya suara publik.
Kondisi tersebut mendapat sorotan dari Akademia Noto Negoro dalam Webinar diselenggarakan, Sabtu 23 April 2022 mulai pukul 08.40 WIB dengan tema “Administrasi Negara Pancasila: the New Public Actor” menampilkan pembicara utama Dr. Yakob Noho Nani dari Universitas Negeri Gorontalo, Sulawesi.
Dalam paparanya Yakob berpendapat, sistem administrasi negara kita selama ini mencampuradukkan antara negara dan pemerintah. Akibatnya apa saja kemauan dan kebijakan pemerintah dianggap sebagai keputusan negara, yang artinya pasti baik dan harus diterima masyarakat. Akibat lebih lanjut masyarakat tidak terlibat penuh dalam proses perumusan kebijakan publik, dan lebih parah lagi masyarakat merasa dibungkam dan tidak didengar suaranya. Demokrasi yang substansial dan deliberatif belum kita rasakan dengan baik dalam kosep Good Governace.
Pemerintah, sebut Yakob, seolah-olah telah bertindak demokratis, padahal pada hakekatnya mereka telah meninggalkan masyarakat dalam perumusan beberapa Undang-Undang yang mengundang kontroversi, seperti UU Ciptaker, UU Migas, UU IKN, UU Sisdiknas dll.
Dikatakan meninggalkan masyarakat, kata Yakob, karena dalam berbagai proses perumusannya pada ranah kebijakan keterlibatan masyarakat umum sebagai salah satu aktor yang memiliki hak tahu, hak berpendapat, serta hak mengerti belum dilaksanakan dengan baik. Forum konsultasi publik yang merupakan ranah atas pemenuhan hak masyarakat masih belum optimal dilaksanakan sehingga hal ini menjadi bukti pemerintah gagal menghadirkan ruang publik yang demokratis
Menurut Yakob, itu semua merupakan ketimpangan yang tidak sesuai dengan Administrasi Negara Pancasila. “Pancasila sudah kita sepakati sebagai falsafah hidup dan dasar negara kita, maka sistem administrasi negara harus dibangun sesuai dengan Pancasila juga,” sebutnya.
Dari renungannya yang juga sudah tertuang dalam disertasi Yakob, administrasi negara Pancasila itu memiliki lima prinsip: netralitas, keseimbangan, kesatuan sistem, pelayanan dan pencapaian tujuan.
Terkait itu, Prof. Hanif Nurcholis dari Universitas Terbuka dalam tanggapannya mengatakan, sistem administrasi negara Indonesia belum terlepas dari budaya ambtenar jaman kolonial yang terbangun sejak 1800-an atau bahkan budaya feodal sejak era kerajaan.
Gerakan Reformasi 1998 dinilai Hanif, belum mampu mengubah struktur, proses kerja dan budaya administrasi negara kita ke dalam sistem yang modern, di mana pemerintah bertindak profesional (adil, tidak memihak, akuntabel dll.). Hal ini dikarenakan pengetahuan para pejabat kita yang merancang dan membuat UU masih sangat kurang tentang sistem administrasi negara modern yang berasal dari Amerika-Eropa. Bahkan mungkin para dosen administrasi negara sendiri kebanyakan tidak menggali ilmu itu dari sumbernya. Sehingga ketika berbicara reformasi birokrasi, misalnya, mereka tidak tahu akar filosofi dari sistem administrasi itu sendiri.
Karena itu Prof. Hanif mengharapkan para dosen administrasi negara untuk memulai memahami ilmunya dari dasar (melalui para penulis Amerika pada 1900-an) sebelum berbicara panjang-lebar tentang smart city, perampingan birokrasi, good governance dsb. Jangan-jangan nantinya akan ketemu, bahwa sebenarnya apa yang digagas sebagai administrasi negara Pancasila itu sama atau mirip dengan administrasi negara modern Amerika yang fondasinya dibangun tahun 1770-an. Hal ini sangat mungkin, karena Pancasilan sendiri sebenarnya merupakan ramuan dari berbagai ideologi dunia, termasuk demokrasi liberal, komunisme dan Islamisme.
Kemudian pakar dari Universitas Islam Kalimantan (UNISKA, Banjarmasin) yang hadir dalam forum, Dr. Uhaib As’ad, dengan lantang menyatakan, memang birokrasi kita masih sangat feodal. Cilakanya hal ini diperparah dengan praktik demokrasi yang dikotori oleh money politics. Pilkada kita penuh dengan politik uang, sehingga para kapitalis mencukongi para Gubernur dan Bupati. Akibatnya para pemimpin daerah tersebut tersandera kepentingan kapitalis yang telah mengantarkan mereka ke kursi kekuasaan. Terbentuklah kemudian oligarkhie politik di berbagai daerah.
Suara rakyat, kata Dr.Uhaib As’ad, terpinggirkan, lingkungan alam rusak tak terurus. As’ad juga yakin oligarkhie politik itu juga terjadi di tingkat negara, dan para pengusaha itu mencukongi pembuatan berbagai UU dan peraturan-peraturan turunannya. Hal itu terasa dengan timbulnya protes dari kalangan akademisi dan mahasiswa akhir-akhir ini.
Perselingkuhan kapitalis-birokrat ini, tegas Dr. Uhaib As’ad, harus segera diamputasi agar rakyat tidak menderita berkepanjangan.
Sementara Dr. Dara Aisyah dari Universitas Sumatera Utara, menggarisbawahi terabaikannya sila pertama Pancasila dalam praktik bernegara kita. Menurutnya, sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu mestinya menyadarkan para pejabat pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, bahwa semua kebijakan dan tindakan para pejabat sebagai pengurus dan pelayan masyarakat tidak saja dipertanggungjawabkan kepada rakyat atau DPR dan DPRD saja, tapi juga untuk dipersembahkan kepada Yang Maha Kuasa.
Mengingat hal ini, Dara Aisyah merasa pejabat kita banyak yang tidak konsekuen. Revolusi mental yang didengungkan Presiden perlu dipertanyakan kesungguhan pelaksanaannya. Harusnya ada program yang jelas tentang revolusi mental ini, sehingga semua pejabat dan rakyat Indonesia benar-benar memiliki karakter yang kuat, dalam hal ini karakter Pancasila.
Dalam kesempatan terpisah, hal yang mirip dengan ini disuarakan pula oleh Dr. Heri Santoso (Universitas Gadjah Mada) dalam webinar Akademia Noto Negoro beberapa hari sebelumnya.
Contoh dari penerapan Pancasila itu diberikan oleh Drs. Ajar Triharso (Universitas Airlangga) dalam bentuk lumbung desa.
Menurutnya lumbung desa adalah kearifan lokal yang telah terbangun di desa-desa sejak lama untuk menghadapi masa paceklik. Menurutnya ekasila yang berupa gotong-royong harus segera dipraktikkan. Semua pejabat dan juga pengusaha harus memberikan teladan penerapan Pancasila dengan cara menjadi penyandang dana lumbung-lumbung desa itu. Ini harus diundangkan oleh pemerintah, sehingga bisa memberikan daya paksa kepada para pejabat dan pengusaha itu untuk berbuat kebaikan. Cara ini sangat sederhana dan praktis, dan pasti akan dapat mengurangi angka kemiskinan di Indonesia.
“Jadi biarlah mereka yang kaya tetap dengan kekayaannya, tapi jangan lupa membantu yang miskin melalui lumbung desa. Ini harus distrukturkan, diformalkan dalam bentuk UU, bukan hanya jadi imbauan moral semata,” tegas Triharso.
Webinar tematic administrasi negara Pancasila tersebut diselenggarakan dalam rangkaian webinar tentang Indigenous Public Administration. Pada serial sebelumnya tampil sebagai pembicara
Dr. Suripto (UGM), Prof. Irfan Maksum (Universitas Indonesia) dan beberapa akademisi lain.
Ketua Akademia Noto Negoro, Dr. Samodra Wibawa (UGM), dalam sambutannya mengatakan, semangat “indigenousisasi” dari para ilmuwan administrasi negara tidak hanya melanda para dosen Indonesia, melainkan juga para pakar dari negara-negara lain seperti Korea, Jepang, Thailand, China. Lebih dari itu fokus kajian indigenousisasi ini malah diapresiasi oleh pakar-pakar dari Barat sendiri.
Akademia Noto Negoro (ANN) adalah kelompok studi yang berkembang menjadi perkumpulan, yang organisasinya sudah mendapat pengesahan deri Menkumham pada 13 April 2022. Embrio dari perkumpulan ini terbangun sejak awal masa pandemi Mei 2022 melalui webinar-webinar yang diselenggarakan Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara (AsIAN). Sejak terbentuk pada 6 Maret 2022 lalu perkumpulan ANN telah melakukan 10 kali webinar tentang berbagai tema.
Saat ini sedang membangun website resmi, tapi untuk sementara informasi tentang sejarah pendirian dan kegiatannya dapat dilihat di https://akadnotonegoro.wordpress.com/. Sistem keanggotannya bersifat terbuka, dan link keanggotaan serta contact person dapat dilihat di situs tersebut.*** (Ril/Zul Marbun)