Menyoal Dominasi Pemerintah dalam Pembangunan Jalan Tol
Catatan : Suprapti Widiasih, SE., MA (Dosen Institut STIAMI)
Jalan merupakan salah satu public goods (barang publik) dan menjadi kebutuhan dasar bagi rakyat yang menjadi tugas negara untuk menyediakannya, baik jalan reguler maupun jalan tol. Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa dalam pembangunannya dominasi oleh pemerintah pusat atau negara menjadi sangat dominan. Walaupun demikian peran swasta dalam pembangunan jalan tol sangat dibutuhkan karena kemampuan negara terbatas.
Hal itu terungkap dalam sesi webinar rutin Akademia Noto Negoro (ANN) ke-55 pada Selasa, 15 Agustus 2023 dengan tema “Dominasi Pemerintah Dalam Pembangunan Jalan Tol” bersama nara sumber Dr. Budiman Widodo, M.Si (Universitas Surakarta), Dr. Tomi Setiawan (Universitas Padjajaran Bandung) dan penanggap oleh Ir. Sidiq Purnomo, MM (PT. Wika Tirta Jaya Jatiluhur).
Dalam paparannya, Dr. Budiman Widodo Dosen dari UNSA menjelaskan makna dominasi berawal dari kata dan dimaknai sebagai domain pemerintah dimana mencakup 3 hal yaitu yang pertama Formulasi atau perencanaan. Kedua Implementasi atau pembangunannya dan Ketiga adalah Evaluasi Kebijakan. Dengan berdasarkan dari besaran jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah dimana menurut data BPS jumlah penduduk Indonesia adalah 278,69 juta jiwa pada pertengahan 2023 maka kebutuhan pembangunan infrastruktur jalan untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduk sangat diperlukan dan sebagai strategi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal inilah yang membuat pembangunan jalan termasuk jalan tol meningkat dengan sangat cepat agar dapat mengimbangi mobilitas penduduk tersebut. Pada era Presiden Joko Widodo ditargetkan pembangunan jalan tol sepanjang 1.850 Km dengan skema komposisi pembangunan jalan tol di Indonesia masih didominasi oleh negara dalam hal ini pemerintah pusat sebesar 41,3% ditambah BUMN sebesar 22.2% sedangkan sisanya digarap oleh Swasta yaitu 38,5%.
Pengembangan dari pembangunan infrastruktur jalan tol dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui perbaikan daya saing global, dimana Indonesia memiliki indeks daya saing global yang masih rendah dan diharapkan dengan membaiknya infrastruktur jalan tol akan berkontribusi terhadap peningkatan indek tersebut.
Proses pembangunan jalan tol selama ini bersifat top-down dari pendanaan maupun perencanaannya sehingga pelibatan masyarakat sekitar tol jalan yang sangat terbatas membuat mereka tidak merasakan manfaat dari keberadaan jalan tol. Kebanyakan dari mereka adalah petani yang telah melepaskan lahan pertaniannya untuk pembangunan sementara petani juga membutuhkan solusi jangka panjang.
Inilah yang menurut Budiman yang sering terkesampingkan adalah terkait evaluasi kebijakan dimana hasil penelitiannya menunjukkan tidak adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat disekitar jalan tol, pembangunan jalan tol kurangnya akses masyarakat terhadap usaha sehingga mereka tidak memiliki modal, memiliki ketrampilan yang rendah dan motivasi kewirausahan yang rendah.
Sementara narsum kedua, Dr. Tomi Setiawan, M.Si yang merupakan staf pengajar di departemen Administrasi Publik Unpad melihat pembangunan jalan tol dari sisi tata ruang dan menyoroti adanya disparitas negara berkembang. Pembangunan infrastuktur akan meningkatkan keterkaitan yang simetris antar-wilayah dan mengurangi disparitas yaitu membentuk hubungan yang mutualisme antar wilayah, untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, untuk mengoptimalkan pengembangan kapasitas dan mengkonservasi sumber daya serta untuk meningkatkan lapangan kerja. Tomi mengatakan seringkali terjadi perencanaan di Rancangan tata rang ada tapi realisasinya tidak ada. Pemerintah seringkali mengingkari perencanaannya sendiri baik karena faktor pendanaan, kesulitan menata warga terdampak, pengalihan atau perubahan lokasi, masyarakat menolak dst. Tata ruang secara teknokratik sudah bagus tapi bisa kalah di proses politik.
Tomi sependapat dengan Budiman bahwa Indonesia harus mengejar ketertinggalan Logistic Performance Index (LPI) karena masih dibawah standar yaitu minimal 3 dengan pembangunan jalan tol agar jaringan transportasi juga nilainya menjadi lebih baik khususnya di wilayah Asia tenggara yang saat ini masih dibawah Vietnam.
Dengan membandingkan pada Era kepemimpinan sebelumnya, SBY mempunyai MP3EI sebagai arahan pembangunan dengan target jalan tol yang akan dibangun sepanjang 1.600 Km, namun akhirnya gagal dan baru terwujud di Era Jokowi yang hingga Februari 2023 sudah hampir mencapai 1.600 km berdasarkan info dari KataData. Tomi yang pernah belajar di Magister Perencanaan Wilayah mengatakan bahwa Indonesia belum mempunyai rancangan jalan tol yang detail untuk 25 tahun mendatang sehingga belum bisa diketahui berapa kebutuhan jalan tol yang harus tersedia. Namun demikian pada pemerintahan Jokowi telah dilakukan dua kali perubahan pada UU tentang Jalan yang dimaksudkan agar pembangunan jalan tol lebih mudah dilakukan. Ini menunjukkan keseriusan Jokowi untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur negara.
Yang menarik adalah walaupun sebagian besar kepemilikan jalan tol di Indonesia oleh swasta dengan konsesi bisa sampai 50 tahun tapi kepenguasaannya tetap oleh negara. Tomi juga menyoroti beberapa resiko kepemilikan tol oleh swasta, serta anggaran infrastruktur di Indonesia yang terbesar adalah untuk jalan tol namun tidaklah sebombastis anggaran untuk bidang lainnya seperti kesehatan, sosial, pendidikan dst seperti yang selama ini diberitakan.
Dari paparan kedua Narsumber tersebut ditanggapi Sidiq Purnomo yang baru saja menjabat sebagai Dirut di PT. Wika Tirta Jaya Jatiluhur. Sebelumnya Sidiq menjabat sebagai Direktur Teknik dan Produksi di PT. Wikajaya Karya Beton yang juga menangani pembangunan beberapa ruas jalan tol di Indonesia.
Sidiq menanggapi materi Budiman dengan mengatakan bahwa antisipasi warga terdampak sebenarnya juga terjadi di semua pembangunan infrastruktur lainnya di Indonesia seperti pembangunan menara sutet, air minum maupun bendungan. Secara umum memang terlihat bahwa warga terdampak di sekitarnya tidak merasakan secara langsung pembangunan tersebut. Dan jika dilihat secara kedaerahan tentu hal ini menimbulkan potensi masalah.
Untuk itulah pemerintah harus hadir agar dapat membuat regulasi yang adil antara pengambil dan pemanfaat dan daerah yang wilayahnya diambil. Sidiq menyarankan adanya penelitian yang lebih makro untuk memperlihatkan konektivitas yang lebih luas yang memperlihatkan kesejahteraan secara makro sehingga adanya perasaan berkorban dari para warga terdampak dapat diminimalisir. Mengapa negara harus hadir dalam penyediaan infrastruktur jalan karena memang menjadi tugas negara. Jika dilihat dari perbandingan dengan sektor lainnya maka di Indonesia masih kurang 4% dari PDB. Terkait kepemilikan jalan tol oleh BUMN inipun sebenarnya kurang menarik dan tidak semuanya bagus secara finansial. Terkadang kurang menarik secara bisnis namun IRR bagus maka akan ditawarkan dulu kepada swasta. Namun jika secara IRR kurang bagus maka akan dilibatkan BUMN untuk andil dalam pembangunannya. Hal inilah yang mendorong pembangunan jalan tol di Era Jokowi terlihat begitu masif.
Tentunya kebijakan ini juga terkait pilihan yang harus diambil pemerintah apakah mau maju atau tertinggal. Sehingga jika dilihat dari salah benarnya tentu tidak ada yang mutlak benar atau salah 100%.
Dalam kaitan teknokratik, Sidiq berpendapat bahwa hal tersebut hanyalah pandangan saja. Unsur politik saat ini sudah bukan merupakan isu besar. Resiko pembangunan adalah sebuah keniscayaan. Dan jika ada ganti untung yang cukup besar bagi warga terdampak dimaksdukan agar dapat diberdayakan pemanfaatannya untuk hal lainnya seperti pembelian lahan baru dan tempat tinggal baru yang sesuai. Namun hal ini memang membutuhkan pendampingan agar menjadi tepat.
Diskusi ANN menjadi lebih semangat dengan adanya pertanyaan dan tanggapan dari peserta webinar Rendi, mahasiswa Pasca Sarjana UGM menyampaikan kegalauan dengan kondisi Indonesia saat ini dimana sebagian besar biaya pembangunan jalan tol dari utang luar negeri.
Sementara Prof. Hanif dari UT menyampaikan masalah yang dihadapi oleh keluarganya terkait pembangunan jalan tol yang dalam kaitan ganti untungnya tidak sesuai dan manjadi ganti buntung karena dilakukan secara fraud atau tipuan sehingga persoalannya menjadi berlarut-larut.
Pujiono selaku Ketua Asmaki memberikan komentarnya bahwasannya pada tataran konsep, gagasan di Indonesia sudah bagus namun harus dilihat juga dari implementasinya apakah sudah klop dibandingkan dengan rencana. Menurut Pujiono kebanyakan proposal proyek cenderung menipu karena proyeknya kurang pruden, misal disebutkan IRR besar namun kenyataannya bisa saja merugi karena adanya pembengkakan biaya yang membuat projek menjadi tidak feasible.
Menanggapi besarnya utang luar negeri Pujiono mengatakan bahwa hal tersebut tidak masalah selagi utang negara sanggup membayar utang dan digunakan untuk hal-hal yang bersifat produktif dan menghasilkan. Namun Pujiono juga mengkritisi agar pemerintah sebaiknya jangan terlalu masuk area entitas bisnis dan hal ini harus dikurangi. Untuk BUMN yang tidak sehat biasanya diberi suntikan PMN sehingga membebani keuangan negara. Sebaiknya hal semacam itu diserahkan saja kepada swasta untuk mengelolanya. Dengan demikian peranan negara tidak terlalu besar. Saat ini jalan tol masuk ke proyek strategis negara, maka peran negara menjadi sangat besar dan dominan, padahal secara fakta jalan tol bukan untuk kepentingan negara tapi kepentingan kapitalis.
Menanggapi permasalahan yang disampaikan Prof. Hanif tersebut Tomi berpendapat bahwa warga negara selaku pemilik tanah harus bisa memperlihatkan hak kepemilikan tanah agar negara tidak serta merta mengambil tanah rakyat sebagai milik negara. Apalagi disebutkan dalam UU No. 5 tahun 1960 bahwa masih adanya pengakuan terhadap hak adat yang penguasaan tanahnya adalah masyarakat adat walaupun tidak ada sertifikat pendukungnya, sehingga ketika ada penggusuran akan tetap dihormati dengan ganti rugi yang sesuai sepanjang untuk kepentingan negara.
Budiman menambahkan bahwa secara prinsip jika diadakan polling akan banyak rakyat yang setuju dengan pembangunan jalan tol tersebut. Dengan berpegang teori Good & Bad Capitalism, maka diambil sisi negatifnya agar dapat diminimalisir sehingga antisipasi di masa mendatang khususnya pasca pembangunan jalan tol agar ada keseimbangan yang baik bagi rakyat.
Sidiq berpendapat bahwa semua permasalahan yang ada menjadi pembelajaran pemerintah dan mengharuskan amanah menjalankan undang-undang sehingga kebijakan yang diambil memberi kebaikan bagi rakyat banyak. Secara prinsip BUMN akan menyupport apa yang menjadi tugas dan kewajiban yang dibebankan. Dan secara umum apapun kritikan yang masuk harus menjadi masukan dan tantangan untuk diselesaikan karena sebuah pembangunan tentu selalu ada dua sisi baik dan buruk, pungkas Sidiq. ***