Dari Webinar ANN: Siapakah Sesungguhnya Penguasa Desa Itu?
Catatan: Hibah Huwaidaul Husna, Mahasiswa UGM
Kegiatan webinar rutin kembali digelar Akademia Noto Negoro (ANN), Senin 21 Maret 2023. Webinar mengangkat tema tentang desa namun lebih spesifik melihat pada realitas kehidupan kelompok penguasa desa pada perspektif agraria yang diikuti 34 peserta. Untuk menghidupkan bahasan diskusi dimulai pemaparan pemateri utama yaitu Dr. Muchtar Habibi selaku penulis buku Capitalism and agrarian change: class, production, and reproduction.
Diskusi dilanjutkan Roy Murtadho yang berperan sebagai komentator atas paparan narasumber utama.
Diskusi banyak membahas mengenai hasil kajian penelitian Dr. Muchtar Habibi yang dituangkan dalam bukunya yang berisi tentang perspektif ekonomi politik Marxis dalam melihat perubahan agraria di desa-desa Indonesia. Konteks penulisan buku tersebut adalah adanya alih fungsi lahan dan ekspansi tanaman komoditas di luar pulau Jawa pada era pasca Suharto menyebabkan perubahan dalam respons petani dan perkembangan yang terjadi didalamnya.
Pendekatan kelas Marxis digunakan untuk menjelaskan bahwa petani bukan kelas tunggal tapi terdiferensiasi dalam berbagai kelas.
Berlatar belakang di dua desa pulau Sumatera dan Jawa, narasumber menjelaskan bagaimana relasi pembagian kelompok petani yang ada memiliki pengaruh dalam dinamika politik atau penguasa desa. Pemilihan lokasi dijelaskan narasumber Muchtar Habibi karena Jawa merupakan pulau pangan paling strategis dengan komoditas utama yaitu makanan pokok nasi sedangkan Sumatera dipilih karena melakukan ekspor komoditas penting yaitu sawit. Komparasi kedua pulau digunakan pulau untuk melihat perspektif dari cakrawala yang lebih jauh untuk melihat peran negara.
Penulis menggunakan nama istilah desa “njomplang” yang merefleksikan desa di Jawa dan menjelaskan struktur kelas yang terjadi.
Dijelaskan, struktur kelas agraria terbagi menjadi enam kelompok yang terdiferensiasi berdasarkan kepemilikan properti lahan. Dari kepemilikan properti tanah tersebut dapat teridentifikasi pula bagaimana hubungan pertanahan, hubungan kerja, output produksi, sarana produksi dan pekerjaan non pertanian yang dimiliki. Kelas tertinggi yaitu penguasa atau tuan tanah biasanya memiliki luas tanah >1 hektare dan lebih cenderung melakukan proses bisnis menyewakan tanah dengan pembagian hasil 50:50. Kelas lainnya yaitu petani-kapitalis, produsen kecil komoditas, petani semi proletariat, petani-proletar, dan terakhir proletariat penuh. Petani proletariat penuh cenderung tidak memiliki tanah dan hanya menjual tenaga sepanjang tahun.
Struktur kelas petani sawit juga terjadi di Sumatera. Penulis menyebut dengan desa “timpang” untuk merefleksikan diferensiasi petani ke dalam lima kelas sosial yang berbeda yaitu petani kapitalis atau kelas penguasa, petani produsen kecil komoditas, petani-semi proletariat, petani proletar, dan petani kelas proletar penuh.
Berbeda dengan di Jawa, untuk berada di kelas penguasa petani harus memiliki atau menguasai tanah >4 ha. Komposisi antar struktur kelas berbeda antara di desa “njomplang” dan desa “timpang”. Petani tuan tanah dan petani kapitalis yang berjumlah 3,5% rumah tangga menguasai 20% tanah yang ada di desa tersebut sedang di desa timpang petani kapitalis yang berjumlah 15% menguasai 60% tanah di desa tersebut.
Perbedaan juga disampaikan oleh narasumber bahwa relasi antar kelas tersebut berbeda antara petani di Jawa dan Sumatera. Wadah untuk melakukan negosiasi terbuka dan terlembagakan terjadi di pedesaan Jawa melalui rembug desa. Negosiasi seperti upah pekerjaan tertentu yang disesuaikan dengan kondisinya ditentukan secara terbuka dilakukan oleh petani kapitalis dan tuan tanah dengan petani proletar. Namun di pulau Sumatera tidak ada negosiasi tersebut. Negosiasi lebih terjadi antar buruh dan majikan secara individual.
Kelas petani yang berbeda akan membentuk kekuatan negosiasi yang berbeda. kelas petani-kapitalis dan tuan tanah dengan beragam variannya menguasai ekonomi politik pedesaan karena tanah tetap menjadi komoditas penting sebagai sumber daya utama desa.
Diskusi dilanjutkan Roy Murtadho yang memberikan pernyataan setuju atas paparan narasumber dan dilanjutkan diskusi yang memberikan arahan bahwa penguasa desa saat ini bukan hanya dari petani namun sudah dikuasai oleh kelompok lain seperti dari penguasa tambang, oligarki desa yang turun menurun, dan kelompok lainnya. Sehingga diperlukan kajian lanjutan dengan studi kasus yang berbeda atas beragamnya Indonesia ini.
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari webinar ini yaitu:
1) Ekspansi kapital yang terjadi menimbulkan diferensiasi kelas agraria;
2) Ilustrasi yang terjadi di pulau Jawa dan Sumatera memberikan pemahaman diferensiasi aspek struktur dan relasi kelas;
3) Kelas petani kapitalis dan tuan tanah mampu menguasai ekonomi politik pedesaan;
4) Intervensi sosial di pedesaan yang tidak menyentuh ketimpangan penguasaan tanah berarti melanggengkan kekuasaan kelas penguasa yang terjadi;
5) Analisis lanjutan dengan studi kasus seperti penguasa tambang atau oligarki desa perlu dilakukan untuk melihat secara lebih luas siapa sesungguhnya penguasa desa itu.*** (Ril/Zul Marbun)