Dari Webinar ANN: Perkuat atau Bubarkan Pemerintahan Desa?
Catatan: Danang Adhi Setyawan (UGM)
Akademia Noto Negoro (ANN) kembali menyelenggarakan webinar pada Selasa 14 Februari 2023 secara daring dan disiarkan melalui TV Desa (Youtube) dengan tema “Perkuat atau Bubarkan Pemerintahan Desa yang Palsu/Manipulatif?”.
Webinar diikuti kurang lebih 90 peserta yang berasal dari berbagai instansi, baik pusat, daerah, desa, dll. Dari pemerintah pusat diantaranya Badan Strategi Kebijakan Dalam Negeri dan Direktorat Fasilitasi Pengembangan Kapasitas Aparatur Desa, Ditjen Bina Pemdes, Kementerian Dalam Negeri, hadir juga dari DPP Apdesi (Assosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia), serta dari Gowa, Pangkajene Kepualauan, Kotawaringin Barat, Lombok Barat, Papua, Maluku Tenggara Barat, Lampung, Sumedang, Minahasa, Maros, Empat Lawang, Badung, Sambas, Sinjai, Ngawi, Bireun, Bener Meriah, Gorontalo, Flores Timur, Pasaman, Musi Banyuasin, Bolaang Mongondow Selatan, Bengkayang, Kubu Raya.
Latar belakang peserta juga beragam mulai dari para birokrat, kepala/perangkat desa, akademisi, ASN, TPP Kemendes, dan umum.
Webinar menghadirkan narasumber Prof. Dr. Hanif Nurcholis, M.Si., Guru Besar Universitas Terbuka dipandu Dr. Tomy Setiawan, S. IP., M. Si dari Universitas Padjajaran.
Mengawali webinar, Prof. Hanif menyampaikan, secara historis desa di Indonesia dapat dilihat dalam 3 fase, sebelum Indonesia ada (merdeka), masa kolonialisme Belanda dan Jepang, dan pasca kolonialisme (merdeka) hingga saat ini.
Prof. Hanif memaparkan sebelum Indonesia merdeka, secara geografis desa merupakan sebuah entitas dimana tanah dan orang yang hidup di atasnya, namun tidak menunjukkan fakta sebagai sebuah organisasi pemerintah desa. Secara administrasif, pada saat itu desa di Jawa memiliki struktur pemerintahan yang terdiri dari Lurah, seorang pemimpin desa, dibantu perangkat kamituwa, carik, bayan, modin, ulu-ulu, kepetengan, jagabaya, dan bekel. Lain halnya di Sumatera Selatan, organisasi pemerintahan desa terdiri dari Pesirah yang dibantu pembarap, dewan marga, dan kepala kampung. Berikutnya di Sumatera Barat, organisasi pemerintahan desa memiliki struktur yang terdiri dari wali nagari, penghulu andhiko yang dibantu oleh bendaro, mantri, kadi, panglimo, serta yang paling bawah adalah seorang kepala jorong. Menurut Prof. Hanif ini merupakan struktur pemerintahan desa yang asli dimiliki oleh Indonesia.
Masih menurut Prof. Hanif, ketika masa kolonialisme Belanda, struktur pemerintahan desa yang sudah ada dikangkangi, namun tidak dihapus dan birokrat desa dijadikan alat untuk memungut pajak kepada rakyat. Pada masa itu berlaku Undang-Undang bentukan Belanda yaitu Decentralisatie Wet 1906 jo IGO 1906 dimana ada 2 kelompok pemerintahan yaitu pemerintahan yang dikepalai orang Eropa dan dikepalai oleh pribumi.
Pada saat itu pemerintahan desa yang dikepalai pribumi tunduk kepada pemerintahan orang Eropa. Sehingga wajah pemerintahan desa tetap ada, namun fisiknya dikendalikan penjajah Belanda.
Setelah Belanda kalah oleh Jepang, maka Jepang mulai menjajah Indonesia. Dampaknya, budaya pemerintahan Jepang juga mewarnai perubahan struktur pemerintahan desa yang sudah ada sejak dulu. Pada masa itu antara tahun 1942-1945 pemerintah daerah dan desa memiliki struktur dari atas ke bawah yaitu Su (setingkat karesidenan), Si dan Ken (Kota dan Kabupaten), Gun (Distrik dan Kawedanan), Son (onderdistrik/kecamatan), Ku (desa). Ku memiliki komponen berupa Heiho, Keibodan, Fujinkai, dan Seinendan.
Pada masa itu, pemerintahan desa dimanfaatkan Jepang untuk memobilisasi massa (rakyat) untuk berperang sekaligus menandai penghapusan pemerintahan desa asli dan digantikan dengan Buraku. Lurah diganti menjadi Kuchoo, dibantu juru tulis, mandor, amil, dan polisi desa. Kemudian, ada lembaga baru Azzachoo (Ketua RW), Tonarigumichoo (Ketua RT), dan Heiho (Hansip), Keibodan (Keamanan/Pertahanan Rakyat) dimana saat ini keduanya dilebur dan dikenal sebagai Linmas, kemudian Fujinkai (PKK), serta Seinendan (Karang Taruna).
Prof. Hanif juga menyampaikan data yang dipaparkan adalah hasil disertasi dengan judul “Mobilization and Control: Study of Social Change in Rural Java, 1942-1945” karya Aiko Inamata Kurasawa tahun 1988 dari Cornell University.
Sebelum era orde baru, para pendiri bangsa seperti Yamin, Soepomo, Mohammad Hatta, dan Soetardjo Kartohadikoesoemo juga mengusulkan berbagai konsep tentang desa. Para pendiri bangsa memikirkan bagaimana roda pemerintahan desa tetap berjalan pasca Jepang kalah dan Indonesia mulai memasuki masa kemerdekaan. Menurut Yamin, desa merupakan pemerintahan kaki (paling bawah), sebagai daerah otonom. Pada Mei 1945 pada sidang BPUPK, Soepomo mengusulkan zelfbestur landschap (kesultanan) dan volksgemeenschap diubah menjadi daerah otonom istimewa karena mempunyai wajah asli. Selanjutnya, pada Mei 1946, Moh. Hatta mengusulkan desa, dll diubah menjadi daerah otonom kecil. Sama seperti Hatta, pada tahun 1953, Soetardjo Kartohadikoesoemo, mengusulkan desa, dll diubah menjadi daerah otonom kecil. Usulan itu kemudian dituangkan dalam Undang-Undang No 48/1948 yang artinya secara formal desa merupakan sebuah unsur pemerintahan di bawah Kabupaten.
Berakhirnya era orde lama dan digantikan Orde Baru membuat desa ditendang dari sistem pemerintahan sebgaimana tertuang dalam Undang-Undang No 5/1974 jo Undang-Undang No 5/1979. Pemerintahan desa warisan Jepang dimodifikasi dan dilanggengkan Orde Baru melalui mobilisasi “partisipasi” yang dipaksakan.
Kala itu, desa menjadi sebuah entitas di luar model/sistem pemerintahan yang berupa daerah otonom tingkat I dan II serta wilayah administratif. Desa kemudian menjadi objek dari proyek-proyek berbagai lembaga donor seperti bank dunia. Selain itu, pada masa Orde Baru, desa juga memiliki kewajiban menjalankan Bandes (bantuan desa) yang kemudian diadopsi menjadi dana desa. Setelah era Orde Baru berakhir, terbitlah Undang-Undang No. 22/1999 Jo Undang-Undang No 32/2004 Jo Undang Undang No 6/2014 dan diatur sama dengan Undang-Undang No 5/1979 jo IGO 1906 tentang desa, dimana konsep organisasi desa masih meng-copy buatan Jepang yang dimodifikasi oleh Orde Baru. Dengan kebijakan tersebut pemerintah desa tidak didesain untuk memberikan layanan barang publik dan jasa publik kepada rakyat desa sebagaimana yang seharusnya.
Seharusnya pemerintah desa diberi mandat untuk mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti pendidikan, kesehatan, air yang layak konsumsi, sanitasi, listrik, kebersihan lingkungan, perumahan, legalitas hukum, dll yang menyangkut urusan publik.
Dengan berbagai masalah yang ada saat ini, Prof. Hanif mengusulkan tentang desa masa depan yaitu desa yang berbeda dengan masa lalu, tidak menjadi pemerintah bayangan/semu, menghilangkan peran kepala desa yang hanya sebagai perantara antara pemerintah resmi dengan rakyat, dan pelaksana proyek politik dan ekonomi pemerintah. Konkritnya: (a) desa yang masih terikat dan mematuhi hukum adat harus diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, contoh desa Baduy; (b) desa yang sudah mengalami modernisasi dan masih mempunyai susunan asli dikonversi menjadi daerah otonom kecil yang bersifat istimewa; (c) desa yang sudah mengalami modernisasi dan tidak punya instusi asli dijadikan daerah otonom kecil biasa. Tiga poin ini patut dimasukkan dalam revisi UU Desa No. 6/2014.
Dalam sesi diskusi, para peserta memberikan berbagai tanggapan diantaranya bagaimana saat ini dengan adanya dana desa justru menjadi ladang korupsi yang disebabkan oleh belum profesionalnya para perangkat desa yang nota bene tidak memiliki kapasitas (kualifikasi dan kompetensi) dalam menjalankan pemerintahan.
Selain itu, para perangkat desa tidak memiliki status yang jelas karena bukan ASN maupun tenaga kontrak sebagai Undang-Undang yang mengatur yaitu UU tentang ASN dan UU ketenagakerjaan. Justru fakta dilapangan, para perangkat desa diwajibkan berseragam selayaknya ASN, namun mereka bukan siapa-siapa. Puncaknya para perangkat desa seluruh Indonesia menuntut kepada pemerintah untuk memperjelas status mereka. Kasus lain di Papua, kebijakan pemerintah juga memberikan celah untuk dimanfaatkan. Papua sebagai wilayah “istimewa” dapat memilih kebijakan yang dinilai menguntungkan mereka yaitu Kebijakan Otonomi Khusus atau kebijakan lain seperti dana desa.
Menurut peserta webinar, di Maluku Tenggara, model pemerintahan palsu ditemukan disana, dimana kepala adat atau kepala Ohoi hanya sebagai seorang yang diberi kewenangan untuk menangani masalah/konflik adat sementara urusan lain ada di kepala desa. Dalam praktik roda pemerintahan sering tidak sejalan, sehingga potensi konflik horizontal sangat tinggi.
Melalui webinar diharapkan terjadi diskusi publik yang membangun, memberikan pemahaman bersama untuk mencapai tujuan yang lebih baik, dan di masa depan, desa mampu menjadi sebuah entitas otonom untuk mencapai cita-cita yaitu rakyat desa yang sejahtera. ***